Tuesday, November 20, 2007

Matematika Gaji dan Logika Sedekah

Dalam satu kesempatan tak terduga, saya bertemu pria ini. Orang-orang
biasa memanggilnya Mas Ajy. Saya tertarik dengan falsafah hidupnya, yang
menurut saya, sudah agak jarang di zaman ini, di Jakarta ini. Dari
sinilah perbincangan kami mengalir lancar.

Kami bertemu dalam satu forum pelatihan profesi keguruan yang diprogram
sebuah LSM bekerja sama dengan salah satu departemen di dalam negeri.
Tapi, saya justru mendapat banyak pelajaran bernilai bukan dari
pelatihan itu. Melainkan dari pria ini.

Saya menduga ia berasal dari kelas sosial terpandang dan mapan. Karena
penampilannya rapih, menarik dan wajah yang tampan. Namun tidak seperti
yang saya duga, Mas Ajy berasal dari keluarga yang pas-pasan. Jauh dari
mapan. Sungguh kontras kenyataan hidup yang dialaminya dengan sikap
hidup yang dijalaninya. Sangat jelas saya lihat dan saya pahami dari
beberapa kali perbincangan yang kami bangun.

Satu kali kami bicara tentang penghasilan sebagai guru. Bertukar
informasi dan memperbandingkan nasib kami satu dengan yang lain, satu
sekolah dengan sekolah lainnya. Kami bercerita tentang dapur kami
masing-masing. Hampir tidak ada perbedaan mencolok. Kami sama-sama
bernasib "guru" yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa. Yang membedakan
sangat mencolok antara saya dan Mas Ajy adalah sikap hidupnya yang amat
berbudi. Darinya saya tahu hakikat nilai di balik materi.

Penghasilannya sebulan sebagai guru kontrak tidak logis untuk membiayai
seorang isteri dan dua orang putra-putrinya. Dia juga masih memiliki
tanggungan seorang adik yang harus dihantarkannya hingga selesai SMA.
Sering pula Mas Ajy menggenapi belanja kedua ibu bapaknya yang tak lagi
berpenghasilan. Menurutnya, hitungan matematika gajinya barulah bisa
mencukupi untuk hidup sederhana apabila gajinya dikalikan 3 kali dari
jumlah yang diterimanya.

"Tapi, hidup kita tidak seluruhnya matematika dan angka-angka. Ada
dimensi non matematis dan di luar angka-angka logis."

"Maksud Mas Ajy gimana, aku nggak ngerti?"

"Ya, kalau kita hanya tertuju pada gaji, kita akan menjadi orang pelit.
Individualis. Bahkan bisa jadi tamak, loba. Karena berapapun sebenarnya
nilai gaji setiap orang, dia tidak akan pernah merasa cukup. Lalu dia
akan berkata, bagaimana mau sedekah, untuk kita saja kurang."

"Kenyataannya memang begitu kan Mas?", kata saya mengiyakan. "Mana
mungkin dengan gaji sebesar itu, kita bisa hidup tenang, bisa sedekah.
Bisa berbagi." Saya mencoba menegaskan pernyataan awalnya.

"Ya, karena kita masih menggunakan pola pikir matematis. Cobalah keluar
dari medium itu. Oke, sakarang jawab pertanyaan saya. Kita punya uang
sepuluh ribu. Makan bakso enam ribu. Es campur tiga ribu. Yang seribu
kita berikan pada pengemis, berapa sisa uang kita?"

"Tidak ada. Habis." jawab saya spontan.

"Tapi saya jawab masih ada. Kita masih memiliki sisa seribu rupiah. Dan
seribu rupiah itu abadi. Bahkan memancing rezeki yang tidak terduga."

Saya mencoba mencerna lebih dalam penjelasannya. Saya agak tercenung
pada jawaban pasti yang dilontarkannya. Bagaimana mungkin masih tersisa
uang seribu rupiah? Dari mana sisanya?

"Mas, bagaimana bisa. Uang yang terakhir seribu rupiah itu, kan sudah
diberikan pada pengemis ", saya tak sabar untuk mendapat jawabannya.

"Ya memang habis, karena kita masih memakai logika matematis. Tapi
cobalah tinggalkan pola pikir itu dan beralihlah pada logika sedekah.
Uang yang seribu itu dinikmati pengemis. Jangan salah, bisa jadi puluhan
lontaran doa' keberkahan untuk kita keluar dari mulut pengemis itu atas
pemberian kita. Itu baru satu pengemis. Bagaimana jika kita
memberikannya lebih. Itu dicatat malaikat dan didengar Allah. Itu
menjadi sedekah kita pada Allah dan menjadi penolong di akhirat.
Sesungguhnya yang seribu itulah milik kita. Yang abadi. Sementara nilai
bakso dan es campur itu, ujung-ujungnya masuk WC."

Subhanallah. Saya hanya terpaku mendapat jawaban yang dilontarkannya.
Sebegitu dalam penghayatannya atas sedekah melalui contoh kecil yang
hidup di tengah-tengah kita yang sering terlupakan. Sedekah memang
berat. Sedekah menurutnya hanya sanggup dilakukan oleh orang yang telah
merasa cukup, bukan orang kaya. Orang yang berlimpah harta tapi tidak
mau sedekah, hakikatnya sebagai orang miskin sebab ia merasa masih
kurang serta sayang untuk memberi dan berbagi.

Penekanan arti keberkahan sedekah diutarakannya lebih panjang melalui
pola hubungan anak dan orang tua. Dalam obrolannya, Mas Ajy seperti
ingin menggarisbawahi, bahwa berapapun nilai yang kita keluarkan untuk
mencukupi kebutuhan orang tua, belum bisa membayar lunas jasa-jasanya.
Air susunya, dekapannya, buaiannya, kecupan sayangnya dan sejagat haru
biru perasaanya. Tetapi di saat bersamaan, semakin banyak nilai yang
dibayar untuk itu, Allah akan menggantinya berlipat-lipat.

"Terus, gimana caranya Mas, agar bisa menyeimbangkan nilai metematis
dengan dimensi sedekah itu?".

"Pertama, ingat, sedekah tidak akan membuat orang jadi miskin, tapi
sebaliknya menjadikan ia kaya. Kedua, jangan terikat dengan keterbatasan
gaji, tapi percayalah pada keluasan rizki. Ketiga, lihatlah ke bawah,
jangan lihat ke atas. Dan yang terakhir, padukanlah nilai qona'ah, ridha
dan syukur". Saya semakin tertegun

Dalam hati kecil, saya meraba semua garis hidup yang telah saya
habiskan. Terlalu jauh jarak saya dengan Mas Ajy. Terlalu kerdil selama
ini pandangan saya tentang materi. Ada keterbungkaman yang lama saya
rasakan di dada. Seolah-oleh semua penjelasan yang dilontarkannya
menutup rapat egoisme kecongkakan saya dan membukakan perlahan-lahan
kesadaran batin yang telah lama diabaikan. Ya Allah saya mendapatkan
satu untai mutiara melalui pertemuan ini. Saya ingin segera pulang dan
mencari butir-butir mutiara lain yang masih berserak dan belum sempat
saya kumpulkan.

***

Sepulang berjamaah saya membuka kembali Al-Qur'an. Telah beberapa waktu
saya acuhkan. Ada getaran seolah menarik saya untuk meraih dan
membukanya. Spontan saya buka sekenanya. Saya terperanjat, sedetik saya
ingat Mas Ajy. Allah mengingatkan saya kembali:

"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah
melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah
Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Terjemah QS. Al-Baqarah

Diambil dari karyanya :A. Muttaqin

Bukan berat beban yang membuat kita stress

Pada saat memberikan kuliah tentang Manajemen Stress, Stephen Covey mengangkat segelas air dan bertanya kepada para siswanya:
"Seberapa berat menurut anda kira-kira segelas air ini?" Para siswa menjawab mulai dari 200 gr sampai 500 gr."Ini bukanlah masalah berat absolutnya, tapi tergantung berapa lama anda memegangnya," kata Covey.

"Jika saya memegangnya selama 1 menit, tidak ada masalah. Jika saya memegangnya selama 1 jam, lengan kanan saya akan sakit. Dan jika saya memegangnya selama 1 hari penuh, mungkin anda harus memanggilkan ambulans untuk saya. Beratnya sebenarnya sama, tapi semakin lama saya memegangnya, maka bebannya akan semakin berat."

"Jika kita membawa beban kita terus menerus, lambat laun kita tidak akan mampu membawanya lagi. Beban itu akan meningkat beratnya," lanjut Covey.
"Apa yang harus kita lakukan adalah meletakkan gelas tersebut, istirahat sejenak sebelum mengangkatnya lagi." Kita harus meninggalkan beban kita secara periodic, agar kita dapat lebih segar dan mampu membawanya lagi.
Jadi sebelum pulang ke rumah dari pekerjaan sore ini, tinggalkan beban tersebut."

"Bukan beban berat yang membuat kita Stress, tetapi lamanya kita memikul beban tersebut." Stephen Covey.
Jangan dipendam.
Saya pernah membaca artikel menarik tentang teknik berburu monyet di hutan-hutan Afrika. Caranya begitu unik. Sebab, teknik itu
memungkinkan si pemburu menangkap monyet dalam keadaan hidup-hidup tanpa cedera sedikitpun.
Maklum, ordernya memang begitu. Sebab, monyet-monyet itu akan digunakan sebagai hewan percobaan atau binatang sirkus di Amerika.

Cara menangkapnya sederhana saja. Sang pemburu hanya menggunakan toples berleher panjang dan sempit. Toples itu diisi kacang yang telah diberi aroma.
Tujuannya,agar mengundang monyet-monyet datang. Setelah diisi kacang, toples-toples itu ditanam dalam tanah dengan menyisakan mulut toples dibiarkan tanpa tutup.

Para pemburu melakukannya di sore hari. Besoknya, mereka tingal meringkus monyet-monyet yang tangannya terjebak di dalam botol tak bisa dikeluarkan.
Kok, bisa? Tentu kita sudah tahu jawabnya. Monyet-monyet itu tertarik pada aroma yang keluar dari setiap toples. Mereka mengamati lalu memasukkan tangan untuk mengambil kacang-kacang yang ada di dalam. Tapi karena menggenggam kacang, monyet-monyet itu tidak bisa menarik keluar tangannya. Selama mempertahankan kacang-kacang itu, selama itu pula mereka terjebak. Toples itu
terlalu berat untuk diangkat. Jadi, monyet-monyet itu tidak akan dapat pergi ke mana-mana!

Teman, kita mungkin akan tertawa melihat tingkah bodoh monyet-monyet itu.
Tapi, tanpa sadar sebenamya kita mungkin sedang menertawakan diri sendiri. Ya, kadang kita bersikap seperti monyet-monyet itu. Kita mengenggam erat setiap permasalahan yang kita miliki layaknya monyet mengenggam kacang.
Kita sering mendendam, tak mudah memberi maaf, tak mudah melepaskan maaf.
Mulut mungkin berkata ikhlas, tapi bara amarah masih ada di dalam dada.
Kita tak pernah bisa melepasnya. Bahkan, kita bertindak begitu bodoh, membawa "toples-toples" itu ke mana pun kita pergi. Dengan beban berat itu, kita berusaha untuk terus berjalan. Tanpa sadar, kita sebenarnya sedang terperangkap penyakit hati yang akut.

Teman, sebenarnya monyet-monyet itu bisa selamat jika mau membuka genggaman tangannya. Dan, kita pun akan selamat dari penyakit hati jika sebelum tidur kita mau melepas semua "rasa tidak enak" terhadap siapapun yang berinteraksi dengan kita. Dengan begitu
kita akan mendapati hari esok begitu cerah dan menghadapinya dengan senyum.
Dan, kita pun tahu surga itu diperuntukkan bagi orang-orang yang hatinya bersih.
Jadi, kenapa tetap kita genggam juga perasaan tidak enak itu?

Sekedar Renungan bagi para orang tua

Jika masih tertahan kelopak mata ini untuk tetap terbuka hingga larut, atau
saat terjaga di pertengahan malam selalu saya sempatkan untuk menyambangi
kamar anak-anak. Saya hampiri dan tatap wajah mereka bergantian sambil
menghalau nyamuk yang hinggap di tubuh mereka. Wajah indah yang terlelap
itu menyibakkan kejujuran dalam hati, bahwa mereka hadir sebagai amanah yang harus dijaga sebaik-baiknya.

Mereka ada untuk dicinta.
Terbayanglah kekesalan yang hampir tercipta akibat perbuatan dan tingkah
nakal mau pun pembangkangan mereka siang tadi. Terlintaslah amarah yang
nyaris meluap saat mereka tak mendengar perintah mau pun ketika peraturan
terlanggar. Beruntung kekesalan itu hanya sempat mampir di kepala dan tak
sampai keluar makian kasar yang pasti akan melukai telinga mereka.
Bersyukur amarah ini tak sekali pun sempat membuat mereka melihat saya
seperti monster yang menakutkan.

Mereka hanya anak-anak yang sangat pantas dan bisa sangat dimaafkan ketika
berbuat kesalahan. Jiwa mereka masih sangat rapuh untuk menerima kalimat dan perilaku kasar orang tua hanya karena kesalahan kecil yang mereka pun
mungkin tak sadar kalau itu benar-benar sebuah kesalahan.

Bisa jadi letak kesalahan justru terletak pada orang tua yang terlalu kaku
membuat peraturan, mengekang kebebasan mereka sebagai individu yang meski
masih kecil tetap saja seorang manusia yang berhak dan bebas memilih untuk
melakukan yang terbaik menurut mereka.

Tugas orang tua bukan melarang atau memerintah, tapi lebih kepada
mengarahkan agar mereka tetap berada pada jalur yang sebenarnya.

Menatap kembali wajah-wajah bersih itu dalam tidur mereka yang mungkin
sedang memimpikan Ayah dan Ibu yang tengah menimang dan membuai penuh kasih, tergambar jelas tak sedikit pun ada dosa di diri mereka. Kalau mau
menghitung-hitung, jangan-jangan justru kita lah yang lebih banyak berbuat
kesalahan terhadap mereka dibanding jumlah kesalahan kecil mereka.

Saya teringat banyak kejadian di luar. Misalnya ketika di sebuah angkot
seorang ibu memaki anaknya yang masih berusia empat tahun -dari posturnya
seukuran anak saya- dengan kalimat yang sangat belum waktunya anak sekecil
itu mendapatkannya. Belum lagi tempelengan yang sempat mampir di kepalanya.
"goblok lu ya, kalau jatuh mampus luh," hanya karena ia sempat melongok ke
arah pintu angkot. Sebuah kesalahan kecil yang mestinya bisa disikapi lebih
bijak dengan sebuah nasihat lembut. Atau ketika isteri saya bercerita
tentang seorang ibu dari teman sekolah anak kami di TK. Anaknya terjatuh
saat berlari, "Nyungsep sekalian biar bonyok tuh muka. Udah dibilangin
jangan lari," itu pun masih ditambah satu tamparan di kepala. Yang pasti itu
tak meredakan tangis si anak, bahkan membuat memar di lututnya semakin perih terasa hingga ke hati.

Mengusap bulir keringat di kening mereka dan membelai rambutnya saat tidur
membuahkan pertanyaan di benak ini, haruskah bintang-bintang sejernih ini
mendapatkan perlakuan sekasar itu?

Lihat saja senyum mereka saat terlelap, dan dengarkan hati mereka bernyanyi
dalam mimpi. Anda akan mendengarkan nyanyian riangnya jika Anda
memperlakukannya sepanjang hari seperti halnya Anda tengah menciptakan
sebuah mimpi indah untuknya.

Namun jangan terperanjat ketika tengah malam tidur Anda terusik saat ia
mengigau dan berteriak ketakutan.
Hanya rintihan yang bisa terdengar dari mimpinya karena sepanjang hari ia
hanya mendapatkan kecemasan dan ketakutan dari kalimat kasar, delikkan mata
dan ayunan keras tangan Anda ke tubuh mereka.

Tak seekor nyamuk pun pernah saya persilahkan untuk menyentuh setiap inci
kulit mereka. Lalu kenapa masih ada yang tega mencederai anak-anak, padahal
dalam berbagai dongeng mereka selalu mendengar bahwa yang kasih dan cintanya tak terbanding itulah Ayah dan Ibu.

Coba sentuh dengan lembut wajah halusnya saat tidur, itu akan membuatnya
bermimpi indah seolah tengah terbaring di pangkuan bidadari.

Anak-anak tak pernah membenci orang tuanya, bahkan saat mereka mendapatkan perlakukan kasar dari orang tua pun, tetap saja nama Ayah atau Ibu yang mereka panggil saat menangis. Anak-anak tak pernah berdosa terhadap orang tuanya, justru kebanyakan orang tua yang berdosa kepada mereka dengan makian kasar dan pukulan menyakitkan. Anak-anak tak pernah benar-benar membuat orang tua kesal, orang tua lah yang teramat sering membuat mereka kecewa mendapati Ayah dan Ibunya tak seindah syair lagu yang selalu diajarkan guru di sekolah.

Ah, kadang orang tua baru menyadari bahwa anak-anak hadir untuk dicinta saat
ia terbaring lemah di salah satu tempat tidur di bangsal anak-anak. Atau
ketika Tuhan mencabut amanah itu dari kita. Menangiskah kita?
salam,

ENERGY PELUKAN

Suatu hari di gua Hira, Muhammad SAW tengah ber'uzlah, beribadah kepada Rabbnya. Telah sekian hari ia lalui dalam rintihan, dalam doa, dalam puja dan harap pada Dia Yang Menciptanya. Tiba-tiba muncullah sesosok makhluk dalam ujud sesosok laki-laki. "Iqra!" katanya.

Muhammad SAW menjawab, "Aku tidak dapat membaca!" Laki-laki itu merengkuh Muhammad ke dalam pelukannya, kemudian mengulang kembali perintah "Iqra!" Muhammad memberikan jawaban yang sama dan peristiwa serupa pun terulang hingga tiga kali. Setelah itu, Muhammad dapat membaca kata-kata yang diajarkan lelaki itu. Di kemudian hari, kata-kata itu menjadi wahyu pertama yang yang diturunkan Allah kepada Muhammad melalui Jibril, sang makhluk bersosok laki-laki yang menemui Muhammad di gua Hira.

Sepulang dari gua Hira, Muhammad mencari Khadijah isterinya dan berkata, "Selimuti aku, selimuti aku!". Ia gemetar ketakutan, dan saat itu, yang paling diinginkannya hanya satu, kehangatan, ketenangan dan kepercayaan dari orang yang dicintainya. Belahan jiwanya. Isterinya. Maka Khadijah pun menyelimutinya, memeluknya dan mendengarkan curahan hatinya. Kemudian ia menenangkannya dan meyakinkannya bahwa apa yang dialami Muhammad bukanlah sesuatu yang menakutkan, namun amanah yang akan sanggup ia jalankan.

***

Suatu hari dalam sebuah pelatihan manajemen kepribadian. Para instruktur yang jugapara psikolog tengah mengajarkan berbagai terapi penyembuhan permasalahan kejiwaan. Dari semua terapi yang diberikan, selalu diakhiri dengan pelukan, baik antar sesama peserta maupun oleh instrukturnya.

Namun demikian, mereka mempersilakan peserta yang tidak bersedia melakukan pelukan dengan lawan jenis untuk memilih partner pelukannya dengan yang sejenis. Yang penting tetap berupa terapi pelukan. Menurut mereka, pelukan adalah sebuah terapi paling mujarab hampir dari semua penyakit kejiwaan dan emosi. Pelukan akan memberikan perasaan nyaman dan aman bagi pelakunya.

Pelukan akan menyalurkan energi ketenangan dan kedamaian dari yang memeluk kepada yang dipeluk. Pelukan akan mengendorkan urat syaraf yang tegang.Saya yang saat itu menjadi salah satu peserta, memilih menggunakan pilihan kedua ini. Pelatihan itu, di kemudian hari memberikan perubahan besar dalam stabilitas emosi dan kejiwaan saya.

***

Apa yang saya inginkan pertama kali ketika saya sedang bersedih, marah atau apapun yang secara emosi mengguncang perasaan saya? Dipeluk suami. Pelukan itu akan menenangkan saya, membuat saya nyaman dan tenang kembali. Apa yang kami berdua lakukan setelah berantem? Saling memeluk.

Pelukan itu akan menurunkan tensi emosi di antara kami. Pelukan itu akan merekatkan kembali ikatan cinta di antara kami setelah luka dan kecewa yang sempat tertoreh. Pelukan itu, akan membuat kehidupan rumah tangga kami menjadi makin mesra. Segala sedih, segala marah, segala kecewa, dan segala beban hilang oleh kehangatan pelukan.

Pelukan itu, kemudian tidak hanya berlaku ketika saya terguncang secara emosi. Setelah setahun lebih kami menikah, pelukan telah menjadi satu kebiasaan dalam hari-hari kami. Hal pertama yang saya lakukan ketika tiba di rumah sepulang dari kantor atau dari bepergian adalah memeluk suami. Memeluknya erat-erat. Itu saja. Tak Lebih. Hal pertama yang saya inginkan ketika saya bangun dari tidur adalah memeluk dan dipeluk suami saya. Memeluknya kuat-kuat. Itu saja.

Bukan yang lainnya. Jika kami bangun pada jeda waktu yang tak sama, maka 'utang' kebiasaan itu dilakukan setelah shalat lail atau shalat subuh. Jika kami tidur di kamar yang berbeda, biasanya jelang subuh atau habis shubuh, salah satu dari kami akan menyusul yang lainnya. Hanya untuk satu hal saja: memeluk dan dipeluk.

Saat malam menjelang tidur, kami terbiasa tiduran dan saling memeluk, berlama-lama sambil berbincang tentang aktifitas kami seharian. Ada kata-kata yang minimal tiga kali sehari saya ucapkan kepada suami saya, "I Love U" dan "Minta peluk!" Rasanya ada yang kurang jika kekurangan pelukan dalam sehari. Pelukan memberiku rasa aman dan nyaman. Pelukan, saya rasakan memberikan kehangatan yang tak tergantikan oleh apapun.

****

Berdasarkan hasil penelitian, kita butuh empat kali pelukan per hari untuk bertahan hidup, delapan supaya tetap sehat, dan dua belas kali untuk pertumbuhan. Jika ingin terus tumbuh, kita butuh dua belas pelukan per hari. Pelukan berkhasiat menyehatkan tubuh. Pelukan merangsang kekebalan tubuh kita. Pelukan membuat kita merasa istimewa. Pelukan memanjakan sifat kekanak-kanakan yang ada dalam diri kita. Pelukan membuat kita lebih merasa akrab dengan keluarga dan teman-teman.

Riset membuktikan bahwa pelukan dapat menyembuhkan masalah fisik dan emosional yang dihadapi manusia di zaman serba stainless steel dan wireless ini. Bukan hanya itu saja, para ahli mengemukakan bahwa pelukan bisa membuat kita panjang umur, melindungi dari penyakit, mengatasi stress dan depresi, mempererat hubungan keluarga dan membantu tidur nyenyak. (The Aladdin Factor, Jack Canfield & Mark Victor Hansen.")

Helen Colton, penulis buku The Joy of Touching juga menemukan bahwa ketika seseorang disentuh, hemoglobin dalam darah meningkat hingga suplai oksigen ke jantung dan otak lebih lancar, badan menjadi lebih sehat dan mempercepat proses penyembuhan. Maka bisa dikatakan bahwa pelukan bisa menyembuhkan penyakit "hati" dan merangsang hasrat hidup seseorang.

Berdasarkan hasil penelitian yang dikeluarkan oleh jurnal Psychosomatic Medicine, pelukan hangat dapat melepaskan oxytocin, hormon yang berhubungan dengan perasaan cinta dan kedamaian. Hormon tersebut akan menekan hormon penyebab stres yang awalnya mendekam di tubuh.

Hasil penelitian tersebut, memberikan keterangan ilmiah atas kecenderungan dalam diri setiap manusia untuk mendapatkan ketenangan dan kehangatan melalui pelukan. Penelitan tersebut memberikan fakta ilmiah atas besarnya energi yang dapat disalurkan melalui pelukan.

Sayangnya, banyak dari kita dibesarkan dalam rumah yang di dalamnya pelukan adalah sesuatu yang tidak lazim, dan kita mungkin merasa tidak nyaman minta dipeluk dan memeluk. Kita mungkin pernah digoda sebagai "si anak manja" jika sering memeluk atau dipeluk Ayah, Ibu atau saudara kandung kita. Dan jadilah kita atau remaja-remaja kita saat ini, tumbuh dengan kekurangan energi pelukan.

Bisa jadi, kekurangan energi pelukan ini adalah termasuk salah satu faktor yang menyebabkan maraknya kasus ketidakstabilan emosi manusia seperti yang terjadi belakangan ini: tingginya angka kriminalitas dan narkoba pada golongan anak dan remaja, kesurupan di berbagai sekolah dan sebagainya.

Dan bisa jadi, sesungguhnya solusi untuk mengurangi berbagai permasalahan itu sebenarnya sederhana saja: Pemberian pelukan kasih sayang yang banyak kepada anak-anak dari orang tuanya. Bukankah Rasulullah sangat gemar memeluk isteri, anak, cucu, dan bahkan anak-anak kecil di lingkungannya dengan pelukan kasih sayang? Bahkan pernah ada satu kisah ketika Rasulullah mencium dan memeluk cucunya, seorang sahabat menyatakan bahwa hingga ia punya 10 orang anak, tak satu pun yang pernah ia curahi dengan peluk cium.

Rasulullah saat itu berkomentar, "Sungguh orang yang tidak mau menyayang (sesamanya), maka dia tidak akan disayang." (riwayat Al-Bukhari)


ShoutMix chat widget