Renungan dari Pinggir Kolam
Tulisan dari temen kantor, cukup bagus untuk kita simak :
Suatu hari saya berjalan-jalan di sebuah kebun kosong. Lalu saya melihat ada sebuah kolam kecil sisa hujan. Entah mengapa saya tertarik sekedar duduk di pingir genangan lalu mengamati beberapa makhluk yang tampak bergerak-gerak di dalamnya. Di antaranya ada seekor ikan besar tampak mengejar-ngejar ikan kecil, beberapa katak nongkrong bersahut-sahutan membicarakan pulitik ular piton, makluk kecil lainnya, ganggang beberapa tanaman lili hijau dan tentu saja lumut.
Ditengah liak-liuknya gerak ikan-ikan itu, saya tercenung. Apa kira-kira yang ada di pikiran ikan-ikan itu? Ikan itu bisa bergerak karena sirip dan ekornya. Namun gerak itu hanya terbatas dalam kolam 5 meter persegi. Yang mereka kenal hanyalah apa yang mereka dapati dalam kolam itu sehari-hari. Dunia dalam kolam. Bagaimana enaknya plankton dan cacing, betapa jernihnya air kolam, betapa indahnya bernaung di serabut akar. Lalu saya berpikir bagaimana seandainya kalau suatu saat si ikan besar itu terlempar keluar kolam, misalnya terlempar bersama "pyak.. pyak..." cipratan air karena kerbau yang berkubang di kolam itu? Pasti ia akan terdampar ke tanah kosong kering di pinggir kolam.
Mungkin ia akan shock, melihat dunianya yang baru. Ia melihat makhluk-makhluk yang bisa bergerak tanpa sirip dan ekor. Bisa meloncat-loncat laksana pendekar, bisa bersuara tanpa gelembung dan bisa bernafas tanpa air dan insang. Mungkin ia takjub merasakan desiran angin di kulitnya. Melihat tanaman-tanaman besar yang sungguh berbeda dengan lili di kolam. Lantas mendongak ke atas dan menyaksikan benda putih bergumpal-gumpal di langit. Dunia menjadi asing dan aneh dan tak pernah terasakan atau bahkan terbayangkan selama ini. Kolamnya yang tak lebih adalah sebuah kubangan kecil ditengah aneka ragam tumbuhan dan tanah terbentang luas.
Selama ini dunianya hanya dunia tiga dimensi, yang sangat sempit. Hujan tidak di rasakan di dalam air, angin pun demikian. Pohon, rumput, tanah kering dan awan tak ada. Yang ia rasakan hanyalah percikan gelombang yang membuat permukaan air bergoyang-goyang. Tapi tak tahu mengapa bisa demikian. Jika ia bisa kembali ke kolamnya lagi, pasti ia akan bercerita banyak kepada teman-temannya.
"Oee, aku telah melihat dunia. Ada makhluk-makhluk besar dan desiran-desiran, benda yang bergumpal dan gerakan serta kekuatan aneh. Kolam ini kecil sekali, tidak signifikan!"
Tentu saya menjadi tertawa, melihat si ikan mendeklarasikan dirinya sebagai hebat karena mampu menggelepar tanah kering dan menyaksikan keajaiban. Padahal itu hanya beberapa meter tanah kering di tengah kebun kosong. Lalu ketika ia kembali air, ia mengatakan telah melihat dunia luar telah menguasai ilmu. Padahal tidak tahu betapa indahnya Daytona Beach, betapa nikmatnya mie ayam, betapa gagahnya lasykar Pemuda Pancasila. Mengira suara katak lebih merdu dari Ahmad Albar, dan mengira sungai Ciliwung lebih bersih dari air kolamnya. Sungguh lucu buat kita bukan?
Apakah saya juga seperti ikan itu? Saya hidup di atas bumi. Bisa mengelana dari kolam satu ke kolam lain, ke desa ke kota, menyanyi semerdu Andrea Bocelli, bisa mengendarai mobil di atas 80 mil per jam. Namun saya hidup hanya di bumi yang sempit ini. Andaikan saya terbang ke galaksi Andromeda, saya akan melihat betapa kecil tubuh ini, seperti sebuah quark dalam sebutir tepung ditengah meja pesta raja. Seperti titik kecil di dalam titik bumi di antara jutaan bintang di galaksi Bimasakti. Saya masih hidup dalam dimensi kecil. Dimensi sebuah kolam ikan. Belum menggelepar, belum merasakan desiran, belum melihat gerak dan belum mendengar suara. Pasti di luar sana ada yang mentertawakan saya, seperti saya mentertawakan ikan.
Kolam kecil ini hanya ada di musim hujan. Hidup ikan sangat singkat (itupun kalau tidak ada yang iseng mancing). Sungguh sempit waktu yang mereka punyai dibanding dengan kita yang bisa hidup 70 tahun. Ikan itu tidak merasakan bagaimana musim kemarau, tak bisa berjalan-jalan es kutub, tidak selesai menyaksikan serial "Rose" karena ditayangkan selama satu setengah tahun, atau tak pernah selesai membaca buku petualangan Ibn Battuta dan tak pernah merasakan mahalnya harga sekilo telor asin serta dasyatnya pertarungan kekuasaan negeri kaya harta tapi miskin moral.
Hidup saya sungguh pendek, hanya satu titik sangat kecil di hadapan 20 trilyun tahun umur alam semesta. Desiran angin apakah, hawa sepanas apakah, makhluk apakah yang mengisi alam sebegitu lama? Yang saya rasakan hanyalah planet yang berwarna biru dan udara hangat. Tak pernah melihat dimensi ruang-waktu lain, seperti ikan merasakan musim kemarau. Masih banyak dimensi yang belum kita ketahui. Hidup sungguh singkat, ilmu amatlah sedikit, toh saya selalu merasa masih punya waktu, besar kepala dan merasa cukup akan ilmu.
Karya : Pungkas Bahjuri Ali
0 Comments:
Post a Comment
<< Home