Thursday, June 28, 2007

Jangan Hanya Melihat Penampilannya

Seorang wanita yang mengenakan gaun pudar dan suaminya yang berpakaian
sederhana dan terlihat usang, turun dari kereta api di Boston, dan
berjalan dengan malu² menuju kantor Pimpinan Harvard University
dan meminta janji temu. Sang sekretaris langsung mendapat kesan
bahwa orang kampung, udik seperti ini tidak ada urusan di Harvard
dan bahkan mungkin tidak pantas berada di Cambridge.

"Kami ingin bertemu Pimpinan Harvard", kata sang pria lembut. "Beliau hari
ini sibuk," sahut sang sekretaris cepat. "Kami akan menunggu," jawab sang
Wanita. Selama 4 jam sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan
bahwa pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi.
Tetapi ternyata tidak, dan sang sekretaris mulai frustrasi dan
akhirnya memutuskan untuk melaporkan kepada sang pimpinan.

"Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan
pergi," katanya pada sang Pimpinan Harvard. Sang pimpinan menghela nafas
dengan geram dan mengangguk. Orang sepenting dia pasti tidak punya waktu
untuk mereka, tetapi dia tidak menyukai ada orang yang mengenakan baju
pudar dan pakaian usang diluar kantornya. Sang Pemimpin Harvard,
dengan wajah galak menuju pasangan tersebut.

Sang wanita berkata padanya, "Kami memiliki seorang anak yang kuliah
tahun pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini.
Tetapi setahun yang lalu, dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin
mendirikan peringatan untuknya, di suatu tempat di kampus ini."

Sang Pemimpin Harvard tidak tersentuh... dia bahkan terkejut. "Nyonya,"
katanya dengan kasar, "Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap
orang yang masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu,
tempat ini akan seperti kuburan."

"Oh, bukan," sang wanita menjelaskan dengan cepat, "Kami tidak ingin
mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk
Harvard." Sang Pemimpin Harvard memutar matanya. Dia menatap sekilas pada
baju pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, "Sebuah
gedung! Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung?! Kami memiliki
lebih dari 7,5 juta dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard."

Untuk beberapa saat sang wanita terdiam. Sang Pemimpin Harvard senang.
Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang. Sang wanita menoleh pada
suaminya dan berkata pelan, "Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai
sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja?" Suaminya
mengangguk. Wajah sang Pemimpin Harvard menampakkan kebingungan.

Mr. dan Mrs. Leland Stanford bangkit dan berjalan pergi, melakukan
perjalanan ke Palo Alto, California, dimana mereka mendirikan sebuah
Universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk
seorang anak yang tidak lagi diperdulikan oleh Harvard

RENUNGAN IDA ARIMURTI : DIBALIK KERUDUNG

Assalamualaikum Wr Wb.

Sebelum aku memulai cerita aku ini, izinkanlah aku untuk memohon maaf
apabila ada pihak2 yang tidak berkenan dengan cerita aku ini, terutama
keluargaku. Untuk itu nama2 orang dan tempat tidak akan aku sebutkan.
Aku ucapkan terimakasih untuk Retno (bukan nama sebenarnya) dari Univ. T.
di kotaku yg mau menuliskan kisah sejati aku ini. Semoga kisah sejati aku
ini menjadi inspirasi buat orang yg membacanya atau mengalami hal yg sama.

Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan Hidayah pada kita semua.

Aku, panggil saja "Mawar", beurusia 30an thn dilahirkan di sebuah pulau
di sebrang pulau jawa, di kota P. Aku lahir sebagai anak terakhir dari 4
besaudara. Kakakku yg pertama dan kedua, laki2, sedangkan yg ketiga
perempuan. Kami berasal dari keluarga keturunan dan kami merupakan
generasi ke 4 yg sudah menetap di negri ini. Kakek buyut kami merupakan
pendatang dari negri jauh dr sebrang di awal abad 20. Keluarga kami
memulai bisnis benar2 dari bawah, menurut cerita orang tua kami, dulu
kakek buyut kami hanya berjualan dengan pikulan bahan2 kebutuhan pokok
seperti gula, garam, beras dll keluar masuk kampong. Usahanya baru
berkembang dengan pesat setelah pada tahun2 awal setelah kemerdekaan,
pemerintah pada waktu itu mulai menggalakan usaha yg dilakukan oleh bangsa
sendiri/pribumi.

Waktu itu dikenal istilah Ali Baba. Ali untuk pangggilan pribumi,
sedangkan Baba untuk warga keturunan seperti kami. Waktu itu pengusaha
pribumi asli diberikan kemudahan perizinan usaha, bahkan mengimport
dari
negara2 lain, tapi umumnya mereka tidak punya banyak modal. Waktu itu
banyak warga keturunan yg mempunyai banyak modal kemudian membeli ijin
usaha yg diperoleh olah para bribumi tsb, sehingga mereka secara mudah
melakukan export import dengan negri2 tetangga (singapura, Malaysia ,
hongkong, dll) yg pada waktu itu memang juga dikuasai olah warga dari
etnis kami.

Singkat cerita, bisnis keluarga kami benar2 menjadi semakin besar dan
merambah ke segala bidang, mulai dari pertambangan, tambang emas,
property, perkebunan, dll. Boleh dibilang kekayaan keluarga kami sudah
diatas rata2 dari orang kaya di negri ini, above than ordinary rich.

Harta kekayan kami yg amat melimpah itu sampai orang tua kami kadang kala
risau seandainya tiba2 kami sekeluarga (tiba2) meninggal sehingga tak ada
yg mengurus harta yg sedemikian banyaknya itu. Untuk itu kami sekeluarga
tak pernah melakukan perjalanan dengan pesawat secara bersama2. Andai kami
sekeluarga akan melakukan liburan pada saat dan tempat yg sama, maka
biasanya kami dibagi menjadi 2 atau 3 penerbangan, Papa dan mama satu
pesawat, dan kami sisanya juga dibagi 2 penerbangan yg lain. Sehingga
apabila terjadi sesuatu musibah, maka akan tetap ada bagian keluarga kami
yg masih selamat, dan tetap bisa mengurus bisnis dan kekayaan kami. Aku
sengaja cerita panjang lebar latar belakang keluarga kami, sebab ini akan
berhubungan sekali secara emosi dengan kisah aku selanjutnya.

Papa kami lahir dan dibesarkan di pulau ini, selepas sekolah menengah atas
beliau melanjutkan sekolah bisnis di negri H, sehingga begitu kembali ke
negri ini, beliau manjadi businessman yg amat handal, dan mempunyai banyak
teman2 bisnis di berbagai negara. Papa sebenarnya orang yg rendah hati,
pendiam, bicaranya terukur dan seperlunya, jarang marah pada anak2nya.
Sedangkan mama, sebenarnya berasal dari pulau lain, dia dulu pernah
bekerja pada perusahaan kakek kami (orang tua dari papa), sebelum akhirnya
bertemu papa dan menikah. Mama orangnya keras, pintar, lincah, banyak
pergaulan, sehingga kadang kami berpikir, papa seperti takluk pada mama.
Banyak kebijakan perusahaan yg berasal dari ide mama, dan memang selalu
sukses. Papa dan mama, memang pasangan yg serasi, saling mengisi
kekurangan. Masa kecil aku lalui dengan penuh kebahagian, dan sejak SD
sampai SMA aku disekolahkan disebuah sekolah swasta terkemuka di kota
kami, yg siswanya banyak berasal dari anak2 pejabat, bupati, gubernur,
dll. Aku berbaur dengan siapapun tanpa memandang golongan, agama dan ras.
Kadang aku diundang untuk mampir bermain kerumah mereka (anak bupati,
gubernur) sepulang sekolah, sehingga aku mengenal labih dekat dengan
keluarga mereka. Ini pula yg kelak bermanfaat buat perusahaan keluarga aku.

Di sekolah kami, ada pelajaran agama untuk tiap2 pemeluknya. Pada saat itu
tiap ada jadwal pelajaran agama tertentu, maka bagi pemeluk agama yg lain
diperbolehkan keluar kelas, tapi boleh juga tetap tinggal dikelas apabila
memang menghendaki. Jadi misalnya hari ini giliran pelajaran agama Islam,
maka murid2 non muslim diperbolehkan meninggalkan kelas, begitupula
sebaliknya apabila ada pelajaran agama lain. Tapi aku sendiri sering tetap
tinggal dikelas mendengarkan apa yg diajarkan ibu guru agama Islam di
kelas kami.

Saudara2 ku semua....

Entah kenapa aku yg sejak lahir dididik secara non muslim, bahkan tiap
minggu aku beribadah di tempat ibadah kami, merasa tertarik dengan ajaran
agama Islam. Aku sendiri tak tahu datangnya dari mana. Semacam ada
panggilan dari hati aku yg paling dalam, tapi saat itu aku pikir mungkin
itu hanya rasa keingintahuan semata, bukan mendalami secara jauh dan
mendalam. Tiap mendengar azan, entah kenapa hati aku selalu bergetar.
Dirumah kami yg besar, kadang hanya aku seorang diri, orang tua kami
selalu sibuk di Jakarta sehingga hanya beberapa hari dirumah dalam
sebulan, kakak2 aku ada yg sudah kuliah di luar negri, sehingga rumah
mempunyai 6 kamar yg besar2, yg seharusnya cukup untuk menampung 20 orang,
hanya dihuni oleh aku sendiri. Pembantu, sopir, satpam, tinggal di
pavilion khusus untuk mereka yg terletak terpisah dengan rumah induk.
Dalam kesunyian itu hati aku merasa sejuk tiap mendengar ayat suci Al
Quran yg kadang tak sengaja aku dengarkan di TV.

Kembali ke pelajaran agama di kelas. Entah mengapa aku makin tertarik
untuk mendalami ajaran agama Islam tiap ada pelajaran agama dikelas.
Melihat ibu guru yg mengenakan kerudung, dengan wajah yg bersih,bersinar,
hati aku terasa sejuk. Dengan melihat wajah ibu guru itu saja aku sudah
merasa damai. Tanpa aku sadari kadang aku mencatat apa yg ibu guru iru
ajarkan, bahkan aku mulai hapal diluar kepala ayat2 yg pendek2. Itu semua
benar2 terjadi begitu saja, tanpa ada aku sadari dan tanpa bisa dicegah
oleh diri aku sendiri. Pernah ibu guru tsb menghampiri aku yg tak sengaja,
secara reflex mencatat pelajaran tetang haji yg dia tulis di papan tulis.
Beliau tahu aku non muslim, dan menghampiri tempat duduk ku, jantung ku
berdebar keras membayangkan kemungkinan aku diusir dari kelas.

Tetapi.....ternyata beliau dengan senyumnya ramah melihat catatan yg
aku tulis, sambil berkata, "Insya Allah kelak suatu saat Mawar bersama
dengan ibu melaksanakan ibadah Haji ya.."

Sejak saat itu hubunganku dengan Ibu guru (sebut saja ibu guru Aisyah)
makin akrab, aku hampir tidak sabar menunggu datangnya hari pelajaran
ibu Aisyah. Hubunganku dengan beliau bagai anak dan ibu. Tetapi saat itu
aku juga tetap mengikuti pelajaran agama yg saat itu masih aku anut, walau
lebih banyak melamun, bahkan tidak mencatat sama sekali apa yg
diajarkan.

Sebagai gadis remaja, tinggiku sekitar 160cm, tentu sedang mekar2nya
dan giat2nya mancari pacar. Teman2ku banyak yg mengatakan kalau tubuhku
indah, proporsional, berwajah oriental, bakalan banyak menarik perhatian laki2.
Plus dengan latar belakang keluarga ku yg amat berkecukupan, makin banyak
laki2 yg tergila2 padaku. Entah kenapa saat itu aku tidak tertarik dengan
laki2 yg berasal dari etnis ku. Tiap hari jumat melihat siswa2 pria
melakukan ibadah shalat jumat, hatiku langsung bergetar, membayangkan
andai salah seorang dari mereka adalah pacarku, dengan wajah bersih
bersinar dan masih basah tetesan air wudhu, berjalan ke masjid diseberang
sekolah, ah...alangkan indahnya membayangkan wajah2 tersebut. Tapi saat
itu aku tahu diri, aku yg berasal dari etnis keturunan, apakah ada laki2
pribumi yg mau menjadikan aku pacarnya. Aku tahu masih banyak dari mereka
yg membedakan ras, dan berpacaran dengan ras kami masih dianggap
memalukan, bahkan bisa jadi ejekan dan gunjingan dilingkungan keluarganya.
Aku pernah berpacaran dengan anak bupati dikota ku, tapi kemudian dia
memutuskan hubungan kami, dikarenakan ayahnya akan mencalonkan diri
menjadi Gubernur, dan dia tidak mau ada anggota keluarganya yg bisa
menghambat pencalonan tsb. Misalnya anaknya dengan berpacaran dengan ras
lain (??). Walau alasan itu amat sangat mengada2 tapi aku terima dengan
lapang dada. Memang aku sudah menyadari akan ada penolakan, karena aku
berasal dari etnis non pribumi. Aku tahu orang tuanya tentu tak merestui
anaknya berhubungan terlalu jauh dgn orang yg bukan dari ras mereka, dan
berlainan agama.

Walau begitu hatiku sudah bulat untuk kelak memiliki pasangan hidup
seorang pribumi, dan aku bahkan bersedia memeluk Islam sebagai agamaku.
Kelak keputusan hidupku ini akan menjadi perjalanan panjang dan penuh
cobaan dalam hidupku.

Selepas SMA aku melanjutkan study ke Ausie lalu ke negri Paman Sam,
mengikuti kakak2 ku yg sudah berada disana. Tak banyak yg perlu aku
ceritakan dgn masa2 studiku disana. Hampir 5 tahun kemudian aku kembali ke
tanah air, dengan gelar master di tangan dan aku mengabdi ke perusahaan
keluargaku untuk membesarkan bisnis mereka. Dalam waktu singkat perusahaan
kami memperoleh profit yg amat meningkat, dan terus membesar, serta
mulai merambah ke banyak sektor bisnis. Aku banyak memiliki akses ke para
petinggi di daerahku karena semasa sekolahku dulu aku sudah mengenal
beberapa keluarga mereka. Semua urusan perijinan yg menyangkut
perusahaanku, bisa aku selesaikan dengan mudah. Aku masih tetap melajang
di pertengahan usia 20an tahun. Banyak pria2 yg berusaha menarik
perhatian ku, dari pengusaha2 muda yg sukses bahkan sampai pemilik perusahaan2
besar. Tapi hatiku tak bergetar sama sekali. Aku belum menemukan
seseorang yg benar2 menjadi soulmate ku. Sekedar mencari suami amatlah mudah
bagiku, ibarat hanya menjentikan jari maka puluhan pria akan mendatangi ku.
Tapi aku benar2 mencari seorang soulmate, belahan jiwa sejati untuk mendampingi
ku.

Sampai suatu ketika perusahaan kami memperoleh karyawan baru dari kantor
cabang kami di pulau Jawa. Orangnya 3 tahun lebih tua dari ku, wajahnya
bersih, dia berasal dari etnis pribumi Jawa. Tutur katanya lemah lembut,
sopan, tubuhnya tinggi, proporsional, dan ah...ini dia..dia seorang muslim
yg shaleh. Sejak kedatangan dia dikantor kami, para wanita gak habis2nya
membicarakan tentang dia, dan berlomba bisa mendapatkan dia. Menurut
laporan kantor kami, dia amat rajin, jujur dan berprestasi di kantor yg
lama, sehingga dia dipromosikan pekerjaan yg lebih tinggi dan menantang di
kantor kami ini. Kebetulan kerjaan yg akan dia kerjaan akan menjadi satu
divisi dengan ku. Sehingga aku akan banyak berhubungan dengan dia.

Mula2 di bulan2 pertama aku masih bersikap 'Jaim' jaga image, karena aku
ini anak dari pemilik perusahaan ini. Tapi lama2, hatiku gak bisa
berbohong,.. hatiku sedikit tapi pasti, luluh juga... aku mulai jatuh
cinta. Pernah suatu ketika sehabis mengunjungi kantor gubernur aku satu
mobil dengan dia. Ditengah jalan dia minta ijin padaku untuk berhenti
sebentar di masjid raya di kota ku untuk shalat ashar. Dari dalam mobil,
aku perhatikan gimana dia berwudhu, lalu melangkah masuk ke masjid dan
melakukan ibadah....ahhh. .andai aku kelak bisa mengikuti di belakang..

Awal2nya aku memanggil dia dengan sebutan formal dikantor 'Pak' dan dia
juga memanggilku 'Ibu'..tapi lama2 kelamaan secara tak sengaja aku mulai
memanggil dia 'mas', karena aku sering lihat keluarga jawa memanggil orang
yg lebih tua, suami, kakak, dengan sebutan mas. Mulanya dia agak rikuh
tiap aku panggil demikian, tapi lama kelamaan mulai terbiasa,. Tapi itu
hanya aku lakukan apabila hanya sedang berdua dengan dia, tidak didepan
orang2 kantor. Akupun mulai meminta dia memanggilku 'Dik', aku merasa
risih tiap kali dia panggil aku 'Ibu Mawar'.

Seiring dengan waktu, sesuai pepatah jawa, "witing tresno jalaran soko
kulino", cinta akan tumbuh karena terbiasa selalu bersama2.

Saudara2ku.. .

Bisa dibayangkan gimana awal kisah cinta kami...didalam mobil yg disupiri
sopirku, kami sama2 duduk dibelakang. Awalnya kami hanya membicarakan dan
membahas berkas2 pekerjaan, kadang secara tak sengaja tangan kami saling
sentuhan. Dan dia secara sopan segera menarik, dan minta maaf..Ah..sebel
rasanya..padahal akulah yg menginginkannya. Tapi itu tak berlangsung lama,
pada akhirnya dia takluk juga, kadang aku biarkan tangan dia memegang
berkas, lalu aku pura2 membahasnya sambil tanganku menyentuh jari dan
tangannya.

Kadang aku genggam jarinya,..dan lama kelamaan dia memberikan
response..dia juga menggenggam tanganku...ahh. .

Kadang kalau mobil kami sudah mau sampai tujuan, aku pura2 minta supirku
untuk kembali ketempat lain, aku pura2 ada yg tertinggal.. padahal aku
hanya ingin berlama2 dengan dia (sebut saja mas Fariz) di mobil.

Pernah suatu ketika aku pura2 ada yg tertinggal dan suruh sopirku membawa
kami berdua ke rumah ku. Begitu mobil kami memasuki halaman rumahku yg
besar, wajahnya tampak pucat pasi. Dia tampak ketakutan dan gugup. Dia
bilang nanti kalau papaku (alias big boss dia) akan marah kalau melihat
dia jam kerja begini malah mampir kerumah dia. Aku bilang tak perlu takut,
bukankah aku, anaknya big boss, yg membawa dia kesini.

Hampir setahun sudah dia bekerja bersama denganku, dan hubungan kami sudah
makin erat, tapi dia belum menyatakan cintanya padaku. Mungkin dia takut
aku akan menolaknya, apalagi keyakinan kami pada saat itu masih berlainan.
Hingga suatu ketika dia menelponku, dan mengajak bertemu disuatu restoran
di luar kota , dia memintaku datang tanpa sopir. Dia tidak mau ada orang
kantor yg melihat kami berdua. Di restoran itu dia menyatakan cintanya
padaku...langsung saat itu juga aku terima. Dan aku katakan pada dia,
kalau aku merasa mas Fariz adalah soulmate ku. Aku akan bersedia memeluk
Islam mengikuti agama yg dia anut. Aku juga katakan kalau memang aku sudah
sejak lama tertarik dengan agama Islam, jadi mas Fariz semoga bisa menjadi
pembimbingku. Aku bisa melihat air mata dia meleleh dari kedua matanya.
Seumur hidupku baru kali ini aku melihat seorang laki2 berlinangan air
mata karena aku, tak terasa akupun tak kuasa menahan airmataku meleleh
dipipiku. Aku yakin aku sudah mendapatkan 'Soulmate' ku dan akan aku
pertahankan sampai kapanpun dan dengan cara apapun.

Di kantor kami tetap bekerja seperti biasa, seperti tak ada hubungan suatu
apapun. Tetapi diluar kantor kami benar2 sepasang kekasih yg lagi jatuh
cinta, dia mulai mengajariku shalat, dan sedikit2 bacaan doa. Dia memang
benar2 lelaki yg taat, dia menjaga kesopananku, tak pernah melebihi batas,
walau kadang aku yg menggoda, tapi dia selalu bilang, sabar..tunggu
tanggal mainnya. Tapi serapat apapun kami tutupi hubungan kami, akhirnya
sedikit demi sedikit bocor juga oleh orang2 kantor kami. Sampai akhirnya
terdengar di telinga papaku.

Suatu hari tiba2 papaku datang ke ruanganku, padahal papaku amat sangat
jarang datang ke ruang kerja ku, kalau ada keperluan biasanya aku yg
dipanggil menghadap. Aku lalu diajak bicara berdua dengan beliau. Mula2
papa tidak menanyakan hubungan ku dengan Fariz, tapi sedikit demi sedikit
dia mulai mengarahkan pembicaraan ke arah sana . Sampai akhirnya dia
menanyakan kebenaran hubungan ku dengan Mas Fariz. Aku tak sanggup
menjawab, wajahku tertunduk. Papaku terus menatapku, menunggu jawabanku.
Aku tak sanggup berbohong, kalau aku bilang tidak, itu bertolak belakang
dengan hati ku, sebaliknya kalau aku bilang iya, aku khawatir kerjaan Mas
Fariz akan manjadi taruhannya. Akhirnya aku hanya bisa menangis....

Keesokan harinya, Mas Fariz tidak hadir lagi dikantor, menurut orang2
kantor, dia dipindahkan kembali ke pulau Jawa mulai hari ini, dan aku
mulai kehilangan kontak dengan dia.

Seminggu kemudian dia menelpon ku, dia cerita panjang lebar, bahwa pada
hari itu, setelah papa menemui ku, ternyata papa langsung menemui dia,dan
keesokan paginya dia sudah harus kembali ke kantor yg lama. Dia juga
cerita kalau keadaan makin parah, karena nyaris tiap karyawan dikantornya
sudah mendengar kabar hubungan dia dengan aku. Dan banyak yang
menggunjingkan kalau mas Fariz, mengincar harta dan kedudukan, karena
berpacaran dengan anak pemilik perusahaan. Dia sampai berulang kali
menyebut nama Allah, dan bersumpah kalau dia mencintaiku bukan karena itu semua.

Dua minggu kemudian, dia memutuskan mengundurkan diri dari perusaan kami,
tapi kami tetap saling berhubungan melalui telp. Dia berjanji mencoba
mancari pekerjaan di perusahaan lain yg punya cabang di kotaku, sehingga
bisa bekerja dikotaku dan kembali menemui ku. Tuhan memang sudah
berencana, akhirnya 3 bulan kemudian mas Fariz sudah mendapat pekerjaan
dan di tempatkan kembali di kotaku walau dengan gaji yang jauh lebih
kecil. Dia bilang sekarang sudah bebas berhubungan dengan ku, dia tidak
ada ikatan apa2 dengan perusahaan ku. Tak ada yg bisa melarang. Aku amat
terharu, dia korbankan karir pekerjaannya karena aku. Aku berjanji apapun
yg terjadi aku tak akan tinggalkan dia.

Sekarang kami bebas behubungan tak perduli lagi dengan omongan orang2
kantor, karena dia toh tak lagi bekerja di perusahaan kami ini. Tapi
ternyata papa kembali mengetahui ini, dan kali ini malahan mama ikut turun
tangan. Aku diceramahi habis2an..

Mereka sebenarnya tidak membeda2kan ras, mereka tidak keberatan aku
berhubungan dgn siapapun, tapi mereka mulai curiga kalau aku mulai akan
pindah keyakinan. Dan itu mereka kurang bisa menerima. Aku sudah jelaskan
baik2 bahwa aku sudah cukup dewasa dan bisa mengambil keputusan buat
hidupku sendiri tanpa tergantung papa dan mama. Ternyata jawabanku yg
demikian itu membuat mereka tambah murka dan tersinggung. Mereka katakan
bahwa tanpa mereka jalan hidupku tidak akan seperti ini. Banyak orang yg
akan rela mati demi merasakan hidup seperti ku. Rumah mewah, sopir
tersedia tiap saat, mobil mewah ada di garasi, uang melimpah, dihormati
kemana aja pergi, dll. Mereka juga katakan, tanpa mereka aku tak akan
pernah sanggup memperoleh kehidupan spt ini. Aku hanya menangis mendengar
apa yg mama papa ku katakan. Tapi hatiku sudah bulat apapun yg terjadi aku
tak akan tinggalkan Mas Fariz. Cinta pertamaku dan terakhir.

Walau orang tua ku terus menentang, cintaku ke mas Fariz tak pernah surut.
Akupun makin giat memperdalam agama Islam. Seringkali aku saat istirahat
kantor, aku pergi ke toko buku besar di Mal. Aku baca2 buku tentang Islam.
Pernah aku ajak orang kantor untuk ikut aku ke toko buku tsb. Dan dia
tegur aku, karena dia pikir aku salah memilih bagian rak buku. Dia
ingatkan aku kalau aku di bagian rak buku2 Islam. Aku bilang memang benar,
aku mau membaca buku2 tentang Islam.

Makin hari hubunganku dengan papa mama makin renggang. Padahal aku sudah
bicara sebaik mungkin dengan mereka. Kakak2ku semuanya juga sudah
terprovokasi. Mereka mulai menjauhiku. Kedua kakak laki2 ku sudah menikah
dan menetap di Jakarta menjalankan perusaahan kami disana, sehingga papa
dan mama sekarang lebih banyak menetap dikota kami.

Dirumah, perlakuan mereka makin hari makin berubah terhadap ku. Aku makin
dianggap bukan lagi bagian keluarga mereka. Tiap makan malam, mereka tak
lagi mengajakku makan bersama2 di meja makan. Pembantu dirumah baru
disuruh memanggilku untuk makan apabila papa mama dan kakak perempuanku
sudah selasai makan, dan makanan yg ada dimeja makan, sisa mereka, yg aku
makan. Pembantu tidak diperbolehkan menambah makanan. Bayangkan, aku
memakan seadanya sisa dari mereka. Andai mereka makan ayam, maka aku hanya
tinggal kebagian ceker dan kepalanya saja. Bisa dibayangkan bagaimana
sakit hatiku rasanya. Tapi aku tetap bersabar, dan mas Fariz selalu
mengingatkan aku untuk tetap berbakti pada orang tua. Padahal kalau aku
mau, bisa saja aku pergi ke restoran yg paling mahal di kota ku ini.

Puncak dari semua itu terjadi pada suatu malam.

Kakak perempuanku memang sebenarnya kasihan kepadaku, sehingga kadang dia
menyimpan sebagaian makanan yg baru dimasak didapur. Sehingga pada saat
mama papa selesai makan, dia diam2 menghidangkan untukku. Suatu ketika
secara tak terduga, papa mama ku kembali ke meja makan, dan mereka
memergoki kakak ku yg membawa makanan yg dia simpan di dapur untukku.
Langsung mamaku merebut piring yg dibawa kakakku, dan melemparkannya ke
lantai..Sambil menyindir, bahwa kakakku tak perlu kasihan pada ku, karena
aku sanggup hidup tanpa diberi makan dari mama papa dan bisa hidup mandiri
tanpa mereka. Ohh....Mereka rupanya sudah amat membenciku.. .Hancur
berkeping2 hatiku pada saat itu. Aku hanya bisa menangis, tapi aku tak
menyesal, dan aku akan terus bertahan dengan pilihan hidupku.

Mas Fariz, menyarankan aku untuk bicara baik2 dengan mama dan papa,
mudah2an mereka akan luluh dan mengerti. Suatu malam, aku berkesempatan
mendatangi dan berbicara dengan mereka, dan aku secara baik2 dan sopan,
tak lupa meminta maaf apabila aku salah pada mereka. Aku jelaskan baik2
pada mereka apa yg hatiku rasakan, aku tumpahkan semuanya. Tetapi justru
itu membuat mereka tambah murka, mereka juga malah menuduhku telah
diguna2, dan menyarankanku supaya sadar. Oh Ya Allah...Aku sehat wal
afiat, Insya Allah saat itu tak ada satupun guna2 pada diriku. Semua
keinginanku adalah murni dari hatiku, panggilan jiwaku, yg tak bisa lagi
aku cegah. Aku jelaskan pada mama dan papa, bahwa aku sudah cukup umur,
dan bukan lagi gadis remaja lagi, sehingga apapun keputusanku, aku bisa
pertanggungjawabkan . Aku bisa mandiri andai keputusan hidupku itu memang
menghendaki demikian. Papa dan mamaku tetap pada pendirian mereka, bahkan
mereka menantangku, kalau sanggup hidup mandiri, sekarang juga serahkan
seluruh harta ku yg aku punya selama ini, yg aku dapat selama hidup dengan
mereka.

Karena tekatku sudah bulat. Malam itu pula seluruh kartu credit, ATM,
buku2 bank, aku serahkan pada mereka. Uang yg aku punya benar2 hanya
tinggal yang ada di dompetku. Aku sepertinya tinggal menunggu waktu sajauntuk
meninggalkan rumah ini. Keesokan paginya, karena ada suatu keperluan aku
ingin membuka lemari besi tempat penyimpanan surat2 berharga di rumah
kami. Tetapi berulang kali aku mencoba, aku tak bisa membukanya. Ternyata
nomor kombinasinya sudah diubah oleh mama papaku. Padahal didalamnya ada
barang2 penting pribadiku, seperti Ijasah, perhiasan, dll. Aku mencoba
menelpon papaku, menanyakan hal ini, dan lagi2 aku mandapatkan jawaban yg
menyedihkan hatiku. Papaku menyindirku, kalau sanggup hidup mandiri,
kenapa masih mau membuka lemari besi milik keluarga, pasti ada barang2 yg
mau dijual didalamnya. Aku benar2 sudah dikucilkan, dan mereka benar2
mencoba menyiksaku dengan cara demikian, sehingga mereka pikir aku akan
menyerah, dan akhirnya mengikuti apa yg mereka mau. Aku adukan semua itu
ke mas Fariz, dan aku katakan kalau aku akan meninggalkan rumah orang tua
ku. Dia tak bisa berkata apa2. Hanya ingatkan aku jangan sampai memutus
silaturahmi dengan orang tua.

Saudara2 ku..

Beberapa hari setelah kejadian itu, aku benar2 meninggalkan rumah. Aku
akan tinggal kost didekat kantorku. Aku berpamitan baik2 pada mama dan
papa ku. Tapi mereka menolehpun tidak. Aku masih punya cukup uang di
dompet. Aku bersumpah tak akan meminta uang lagi sepeserpun dari mereka.
Aku bertekad membuktikan kata2 ku untuk hidup mandiri tanpa harta siapapun
demi mempertahankan keyakinan ku. Selama aku bekerja diperusahaan
papaku, memang secara formal aku di gaji sesuai dengan posisi kerjaku di
perusahaan.Tapi disamping itu tiap bulan, tentu diluar formal perusahaan,
aku mendapat uang saku dari papa ku yg lumayan banyak, hampir 20x lipat
dari gaji resmiku. Sehingga penghasilan total sebulan bisa cukup untuk
hidup mewah setahun. Bahkan seluruh uang simpananku di bank, sudah
mencapai 10 digit. Tentu bukan jumlah sedikit. Bahkan mungkin cukup
untuk biaya hidup seumur hidupku tanpa bekerja.

Aku berharap perusahaan papaku masih memberikan gajiku, dan itu aku
anggap memang uang hasil kerjaku, bukan pemberian. Tapi diakhir bulan aku tak
memperoleh sepeserpun. Aku sudah meminta agar bisa diberikan cash.
Ketika aku tanyakan ke bagian pembayaran gaji, ternyata mereka sudah
diperintahkan papaku untuk menahan gajiku. Ya Allah, mereka benar2
melakukan cara apapun agar aku benar2 menderita dan pada akhirnya
menyerah.

Saat itu juga aku langsung mengundurkan diri dari perusahaan papaku itu.
Aku tinggalkan perusahaan itu selama2nya.

Ketika aku adukan hal ini pada mas Fariz dia amat sangat sedih dan
meminta maaf padaku, karena gara2 dia hidupku jadi menderita. Dia rela andai
aku tidak kuat dan merubah keputusan. Aku peluk dia, dan aku pastikan
keputusanku tak akan berubah, dan aku makin ingin bisa hidup bersama dia.
Saat itu hanya dialah sandaran hidupku. Dengan berlinangan air mata, dia
sekali lagi menanyakan padaku, apakah aku menyesal dengan keputusanku,
dan apakan aku rela bila menjadi muslimah dan menjadi istrinya. Saat itu
juga aku cium tangannya, dan aku katakan, aku korbankan seluruh kehidupanku
hanya untuk bisa hidup bersamanya, dan aku tak akan mudur ataupun
menyesalinya, apapun yg terjadi aku akan hadapi iklas lahir dan batin.

Singkat cerita, dengan diantar mas Fariz aku mengucapkan 2 kalimah
syahadat di sebuah masjid dikota kami, disaksikan imam dan beberapa jemaah
masjid tsb. Akhirnya penantian panjangku tercapai sudah, walau harus
mengorbankan kehidupanku. Tapi aku tak pernah menyesali. Mas Fariz lalu
mengajakku segera menikah di kota kelahirannya, karena kebetulan
perusahaan tempat dia bekerja akan memindahkan dia ke pulau Jawa.

Sebelum menikah, kami berdua mendatangi rumah papa dan mama, kami akan
mohon restu baik2 pada mereka. Tetapi bapak satpam yg berjaga dipintu
gerbang mengatakan kalau dia diperintahkan untuk tidak membuka pintu
apabila kami berdua datang. Sebenarnya bapak satpam tersebut bersedia
membuka pintu karena dia masih mengenalku. Tapi aku melarangnya, karena
khawatir akan mencelakakan pekerjaan dia. Biarlah cukup aku saja yg
menderita, aku tak ingin orang lain ikut terkena akibatnya. Aku tinggalkan
secarik surat , yg isinya memohon doa restu dari mama papa, bahwa aku
akan menikah dengan mas Fariz, juga aku katakan kalau aku sudah jadi muslimah.
Aku bisa lihat mata bapak satpam itu berkaca2 sewaktu aku katakan aku
sudah jadi mualaf.

Awalnya keluarga mas Fariz menanyakan ketidakhadiran keluargaku di
pernikahan kami. Tapi setelelah mas Fariz ceritakan panjang lebar,
akhirnya keluarga mau memahami. Kami menikah secara sederhana di kota
tempat keluarga mas Fariz bermukim. Keluarganya amat sangat menerimaku
dengan hangat, mereka sama sekali tidak mempermasalahkan ras keturunanku.
Malah ibu mertuaku amat sayang padaku.

Setelah menikah, aku dan mas Fariz menetap di pulau Jawa. Aku amat sangat
bahagia, bisa menjadi pendamping hidup dia. Aku merasakan dia bukan
sekedar suami, tapi memang benar2 soulmate hidupku, yg aku cari2sepanjang
hidupku.

Aku hidup dirumah yg sederhana dan hari2ku aku lalui dengan penuh
kebahagiaan, dan aku tak mengeluh sedikitpun dengan yg mas Fariz berikan
untukku. Aku tak lagi bekerja, karena aku benar2 ingin mengabdi pada
suamiku, dan disamping itu semua ijasahku masih tersimpan di lemari besi
di rumah mama papa, aku tak bisa melamar pekerjaan dimanapun. Aku jugatak
mau meminta surat keterangan bekerja di perusahaan papaku. Aku ingin
buktikan bisa hidup mandiri dengan suamiku. Mas Fariz amat sangat
menyayangiku, tiap pagi sebelum berangkat ke kantor dia memeluku. Tiap
hari aku bawakan dia 'lunch box' untuk makan siang karena aku tak mau
makanan yg masuk ke perutnya berasal dari masakan orang lain. Aku benar2
posesif, ingin memiliki dan melayani dia secara total. Setiap hari aku
bangun sebelum dia bangun, dan aku baru tidur setelah dia benar2 tidur,
untuk memastikan dia sudah benar2 tak perlu aku layani lagi. Aku siapkan
celana, baju, kaus kaki dia tiap pagi sebelum berangkat kerja. Sehingga
dia tak perlu lagi memikirkan pakaian apa yg harus dia pakai tiap pagi.
Bahkan aku potongkan kukunya bila sudah panjang Pokoknya dia benar2 aku
jadikan pangeran bagi diriku.

Tiap malam sebelum tidur, kami selalu mengobrol dan saling mengajarkan
bahasa. Dia mengajariku bahasa jawa, sadangkan aku mengajari dia bahasa
mandarin. Dia amat cepat belajar mandarin, dalam waktu singkat dia sudah
menguasai beberapa kata2 yg umum diucapkan, kadang dia mengajak ku bicara
mandarin dirumah. Memang perusahaan tempat dia bekerja milik keluarga
dari etnis keturuan seperti aku, dan banyak behubungan dengan warga
keturunan, sehingga bila mampu berbahasa mereka akan merupakan keuntungan
tambahan.

Suatu ketika dia pulang membawa sepeda motor, dia katakan kalau kantornya
memberinya pinjaman cicilan motor. Memang hanya sepeda motor, tapi aku
sangat bahagia sekali dengan yg dia dapatkan. Berulangkali dia minta maaf
tidak bisa belikan aku mobil mewah seperti yg aku pernah aku miliki dulu.
Aku katakan pd dia motor yg sekarang kita miliki bagiku jauh lebih mewah
dari mobil yg dulu aku miliki. Karena motor ini bukan sekedar dibeli
dengan uang, tapi juga cinta, yg tak akan ternilai berapapun banyaknya uang.

Kehidupan perkawian kami amat indah, kalau dirumah nyaris kami tak bisa
berjauan. Karena tiap hari bagi kami adalah bulan madu, maka hanya setahun
kemudian lahirlah anak pertama (dan satu2nya) kami. Bayi laki2 itu kami
namai, sebut saja 'Faisal'. Mas Fariz yg membacakan Azan dan qomat,ketika
bayi kami lahir. Aku merasa lengkap sudah kebahagiaanku. Tiap hari aku
tambah bahagia bisa merasakan ada 2 orang "Fariz" didalam rumahku. Saat
mas Fariz ke kantor, aku di temani Fariz kecil, bayiku. Oh alangkah
bahagianya. Aku mencintai 2 orang yg sama darah dagingnya.

Tiga tahun sudah anak kami hadir bersama kami. Mas Fariz terus bercita2
ingin mendatangi orangtua ku, oma opa si Faisal. Dia benar2 ingin
memperkenalkan cucu mereka dan menyatukan aku dengan papa mama ku lagi.
Dia berharap dengan kehadiran Faisal, akan meluluhkan hati orang tuaku.
Tapi tiap kali aku menelpon papa mama ku masih bersikap seperti dulu,
bahkan waktu aku katakan bahwa mereka sudah mempunyai cucu dari ku,
mereka
hanya menjawab, kalau mereka tidak merasa mempunyai keturunan dari
ku..Ohh
malangnya anakku. Aku amat sedih, teganya papa dan mama ku berkata spt
itu. Aku masih memaklumi apabila mereka membenciku, tapi jangan pada
anakku, cucu mereka, darah daging mereka sendiri.

Mas Fariz hanya menyuruhku bersabar, dia percaya kelak papa dan mama
akan
menerima mereka. Tapi sebelum harapan mas Fariz terpenuhi, musibah
mulai
datang....

Suatu ketika, mas Fariz pulang kerumah lebih awal, dia cuma merasa gak
enak badan seperti orang masuk angin. Aku menyuruhnya segera istirahat
dan
tidur, dan memberi obat penghilang sakit. Malam harinya, tubuhnya mulai
panas dan menggigil. Keesokan paginya aku mengantar dia ke dokter,
waktu
itu dokter hanya katakan kalau mas Fariz hanya demam biasa sehingga
hanya
diberi obat penurun panas, dan disuruh istirahat. Tapi malamnya tubuh
nya
tetap panas, dan menggigil, bahkan sampai mengigau. Aku sudah ajak mas
Fariz untuk ke rumah sakit keesokan harinya. Tapi dia menolak, karena
dia
bilang hanya demam biasa, dan tak apapa, beberapa hari pasti sembuh.
Sampai hari ke empat kondisinya makin parah, akhirnya disampai tak
sadarkan diri, bahkan dari hidungnya kaluar darah. Dengan pertolongan
para
tetangga, suamiku segera dibawa ke RS. Hasil pemeriksaan daranhnya
menunjukan trombositnya hanya tinggal 26ribu. Padahal orang normal
harus
diatas 150rb. Suamiku terkena demam berdarah, Dokter menyalahkan aku
kenapa tidak segera dibawa ke RS lebih awal, karena serangan terberat
demam berdarah adalah pada hari 5. Kalau kondisi tubuh tidak kuat, bisa
amat berbahaya. Besoknya, hari ke 5, memang benar2 makin parah kondisi
suamiku, napasnya makin berat, trombositnya belum beranjak naik,
tubuhnya
udah benar2 digerogoti penyakit itu, malam itu setengah mengigau, dia
memanggil namaku, lalu aku genggam tangannya dan aku dekati telingaku
ke
mulutnya, aku bisa dengarkan dia mencoba mengucapkan sesuatu, dan air
matanya meleleh. Dia coba ucapkan kata2 "Maafkan aku" lalu aku
tenangkan
dia, kalau tak ada yg perlu dimaafkan. Aku iklas lahir bathin
mendampingi
dia. Setelah mendengar kata2ku, dia tampak tenang, lalu dengan satu
tarikan napas dia coba mengucapkan "Lailahailallah" lalu dia pergi
selama2nya meninggalkan aku. Dia pergi di pelukan ku. Aku ingat suatu
ketika dia pernah berucap, andai Tuhan mengijinkan, dia ingin meninggal
terlebih dahulu dari aku, dan dalam pelukanku, sebab ia ingin aku
menjadi
orang terakhir dalam hidupnya yg dia lihat. Aku sempat memarahi dia,
jangan bilang seperti itu. Tapi dia bilang serius, kalau dia gak akan
sanggup kalau aku yg meninggalkan dia terlebih dahulu. Ternyata Tuhan
benar2 mengabulkan permohonan dia. Orang yg aku jadikan sandaran
satu2nya
dalam hidup ini telah pergi selama2nya. Tak terkirakan amat sedih dan
hancurnya hatiku. Andai aku tak ingat dengan si kecil Faisal, mungkin
aku
sudah ingin segera mengusul mas Fariz dialam sana .

Mas Fariz benar2 orang yg jujur dan baik, waktu penguburan seluruh
rekan2
kerja, bahkan big boss tempat bekerja hadir. Waktu aku tanyakan apakah
ada
hutang piutang mas Fariz yg harus aku selesaikan. Mereka katakan tidak
ada
sama sekali, bahkan kantornya memberikan santunan 4x gaji, ditambah
uang
duka dari rekan2nya. Aku juga ditawarkan bekerja di perusahaan tsb.
Tapi
untuk saat itu aku benar2 gak sanggup melakukan apapun. Aku merasa
setengah dari nyawaku sudah hilang. Selama 3 bulan aku berduka, aku tak
sanggup pergi dan melakukan apapun. Bahkan tiap tidur, aku masih
membayangkan mas Fariz disampingku. Akhirnya untuk semantara waktu aku
tinggal dengan ibu mertuaku, supaya Faisal ada yg mengasuh. Rumah dan
motor aku jual, karena aku tak sanggup membayangkan kenangan bersama
mas
Fariz tiap aku melihatnya. Hampir setengah tahun tinggal dengan mertuaku, sampai
akhirnya aku putuskan kembali ke kota asalku. Sebenarnya ibu mertuaku amat baik
dan sayang padaku. Tapi aku tahu diri gak mungkin selamanya bergantung pada
siapapun. Aku harus bisa mandiri, membesarkan anakku, satu2nya hartaku yg
tersisa.

Aku pulang ke kota asalku dengan sisa uang yg aku punya. Lalu aku
mengontrak rumah, dan membuka toko kecil2an di depannya. Tetapi mungkin
karena aku masih terus berduka dan terbayang suamiku, sehingga aku
kadang
kurang memikirkan usahaku ini, sampai akhirnya usahaku ini bangkrut.
Tokokupun aku tutup, uangku habis untuk membayar tagihan2 para suplier
barang, semantara penjualanku tak seberapa menguntungkan.

Aku sebenarnya tidak pernah putus asa, apapun aku jalani asal halal.
Pernah aku coba jadi pelayan restoran, tapi hanya beberapa bulan,
karena anakku tak ada yg jaga. Sampai akhirnya aku benar2 kehabisan uang, tak
sanggup lagi membayar kontrakan. Dengan membawa koper isi pakaian, aku
menggendong anakku, berjalan tanpa tujuan. Aku benar2 bingung akan
kemana.
Pernah terlintas di benakku untuk kembali ke keluargaku. Tapi justru
dengan kondisi seperti ini mereka pasti akan merasa menang. Mereka akan
tertawa terbahak2 dan terus bisa mengejek ku seumur hidupku, bahwa aku
gagal dalam memilih jalan hidup. Akhirnya ditengah rasa putus asa, aku
teringat masjid tempat dulu aku pertama kali mengucapkan kalimat
sahadat.
Masjid itu memang bukan masjid raya dikota kami, tapi karena masjid yg
tua
dan bersejarah, maka banyak jemaah yg datang. Aku berpikir, dulu aku
memulai jalan hidupku dari masjid itu, sehingga kalaupun jalan hidupku
berakhir aku ingin di masjid itu pula. Aku datangi masjid tsb. Dan aku
shalat mohon petunjuk. Anakku karena kelelahan tertidur di sampingku.
Aku tak punya uang untuk membeli makanan. Akhirnya aku hanya bisa menangis.
Rupanya tangisku didengar oleh seorang bapak, dan beliau rupanya imam
masjid tersebut, dan dia yg dulu membimbingku membaca syahadat. Aku tak
lupa dengan wajahnya, tetapi dia pasti sudah tak ingat dengan wajahku,
karena wajahku tak sesegar dulu lagi. Sewaktu aku perkenalkan diriku
dan aku katakan bahwa aku dulu mualaf yg beliau bimbing, dia langsung ingat
tapi juga kaget dengan kondisiku yg seperti ini.

Akhirnya aku ceritakan semuanya pada beliau, sebab aku merasa tak ada
lagi orang di dunia ini yg aku jadikan sandaran hidupku.

Setelah selesai mendengar ceritaku, dia menyuruh aku agar jangan pergi
kemana2, dan tetap tinggal di masjid, beliau juga menyuruh salah
seorang
jemaah untuk membelikan makanan untuk aku dan anakku. Sebentar kemudian
dia pergi meninggalkan ku, sambil berpesan akan segera kembali
menemuiku (rupanya dia pergi mencari tempat untuk aku bisa tinggali). Tak lama
beliau kembali menemui ku, sambil tersenyum dia katakan, mulai malam
ini aku sudah memperoleh tempat tinggal. Aku diajak ke belakang masjid,
disitu ada sebuah bagunan tambahan yg terdiri dari beberapa ruangan. Biasanya
ruangan itu untuk gudang menyimpan peralatan masjid, seperti tikar,
kursi2, dll. Salah satu ruangnya tampak sudah kosong, dan dia menunjuk
bahwa itu lah rumah ku. Aku boleh menempatinya selama mungkin aku mau.
Ruang disebelahnya ditempati olah pak tua penjaga masjid, sehingga aku ada
yg menemani. Ruangan tsb hanya berukuran kurang lebih 2x2m. Pak Imam
masjid itu juga menambahkan, kalau nanti aku diberikan honor
sekedarnya,
kalau mau membantu2 membersikan masjid, sehingga cukup untuk makan.
Bahkan beliau menambahkan kalau aku bisa datang kerumahnya sekedar2 membantu2
istrinya memasak, kerena memang rumah beliau hanya beberapa ratus meter
dari masjid.

Alhamdulilah, aku amat bersyukur ternyata Allah mendengar doaku. Aku
ingat, bahwa Allah tak akan menguji hambanya dengan melebihi beban yg
sanggup dia pikul. Aku sudah bersyukur bisa memperoleh tempat berteduh,
walau hanya kamarnya kecil (jauh lebih kecil dibanding kamar mandiku,
saat
dirumah orang tuaku). Ada lagi yg membuatku merasa tenang, karena ku
tinggal berdekatan dengan rumah Allah, tiap aku merasa sedih, aku tinggal
masuk kedalam masjid, dan mengadukan langsung pada Allah. Karena tinggal
dekat dgn masjid, otomatis shalatku tak terlewatkan sekalipun.
Alhamdulilah hidupku sedikit2 demi sedikit mulai tenang. Aku sering
membantu istri pak Iman memasak dirumahnya, dan sebagai imbalannya,beliau
selalu membekali makanan untuk aku bawa pulang. Sehingga aku tak perlu
risau memikirkan makanan sehari2. Kalau pak Imam sekeluarga ada keperluan
keluar kota , akulah yang dititipi untuk menjaga rumahnya, dan aku bisatinggal
dirumahnya. Sebenarnya mereka sudah menawarkan aku untuk tinggal bersama
mereka. Tapi aku tahu diri tak mau terus menerus merepotkan orang lain.

Pekerjaanku rutinku tiap hari adalah, membersihkan halaman masjid,
membersihkan kaca2 jendela, Sedangkan pak tua mengepel lantai masjid.
Tiap minggu aku mendapakan honor sekedarnya dari hasil kotak amal di masjid,
tapi kadang aku tak mendapatkan sepeserpun, karena kadang sudah habis
untuk keperluan masjid, tapi aku lakukan itu dengan senang hati dan iklas.
Sementara ini aku benar2 ingin mengabdi pada Masjid ini, sebagai tanda
terimakasih ku. Aku tak mau bersusah payah kesana kemari mencari
pekerjaan, Aku percaya kelak masjid ini pula yang akan memberiku jalan
memperoleh pekerjaan.

Kadang malam hari aku duduk2 diteras masjid, mengobrol dengan pak tua.
Dia bercerita kalau anak2nya masih ada di kampung, tapi dia juga tak mau
merepotkan anak2nya. Selama masih kuat, dia tak mau merepotkan orang
lain.
Lalu saat giliran aku cerita, kadang aku bingung harus cerita apa..???
Apa aku ceritakan kalau dulu aku pernah naik kapal pesiar keliling eropa,
atau aku pernah menginap di hotel mewah di las vegas , atau aku punya
apartment mewah di Australia ..Ahh pasti dia akan tertawa dan menganggap aku
berhayal, sebab jangankan tinggal dihotel, sekarang ini uang yg aku
punya tak lebih banyak dari 20ribu..

Dulu tiap minggu aku bisa membeli peralatan make up, eye shadow,
lipstick, dll jutaan rupiah. Sekarang ini make up ku hanyalah air wudhu ku tiap
aku shalat. Tetapi justru banyak yang mengatakan kalau wajahku tetap
bersih, cantik, alami. Kadang orang berpikir aku masih memakai make up.
Yah..mungkin Allah yang memakaikan make up untuk ku. Kecantikan datang
dari dalam. Inner Beauty. Banyak yg bilang, dengan mata sipit ku
dibalik kerudung, aku terlihat cantik.

Tak terasa aku sudah hampir 2 tahun menetap di masjid itu, anakku sudah
sekolah di SD dekat masjid milik suatu yayasan dan tanpa membayar
sepeserpun. Aku hanya membelikan seragam dan alat2 sekolah. Bahagianya
hatiku melihat anakku sudah masuk sekolah..oh, seandainya mas Fariz
masih ada dan melihat anak kita dihari pertama pergi ke sekolah.. Anakku
rupanya tumbuh besar dalam keprihatinan, sehingga dia sangat tahu diri, dia tak
pernah sekalipun merengek2 minta dibelikan ini itu seperti layaknya
anak2 lain. Pernah hatiku amat terenyuh. Ketika dia pulang sekolah dengan
kaki telanjang, sambil menenteng2 sepatunya. Sambil tertawa, tanpa mengeluh,
dia malah menunjukan sepatunya kepadaku "Ma, sepatu Faisal udah minta
makan". Maksudnya sepatunya udah robek depannya, seperti mulut minta
makan. Melihat dia tertawa, akupun ikutan tertawa, walau hatiku rasanya
ingin menangis. Andai dia tahu, dulu mamanya selalu memakai sepatu
berharga jutaan rupiah, sekarang ini membelikan sepatu anaku yg murahpun
aku belum sanggup. Alhasil selama 2 hari anakku kesekolah memakai
sepatu yg robek itu, sampai akhirnya aku belikan sepatu bekas. yg lebih layak
dipakai. Aku bersyukur mempunyai anak yg amat tahu diri. Tak mau
membebani ibunya. Memang anak yg shaleh akan menjadi bekal yg amat bernilai buat
orang tua. Pak Imam masjid kadang menengok kami, dan menanyakan keadaan
kami. Dia sering cerita, gimana istri nabi Muhammad dulu hidupnya jauh
lebih menderita, tetapi tetap tabah menghadapi cobaan dan tak goyah
keimanannya. Beliau kadang bilang, kalau aku pasti akan jadi ahli surga.
Berulangkali dia bilang, kalau orang lain gak akan mungkin sanggup
menghadapi cobaan ini, tapi aku tetap bertahan memegang keyakinan,
meninggalkan kenikmatan dunia yg justru pernah aku peroleh.

Suatu siang, aku melihat ada mobil datang ke halaman masjid, dari dalam
mobil itu keluar 2 orang yg aku masih kenal. Yang satu perempuan
bernama
tante Grace, yg satunya lagi laki2 oom Albert. Mereka berdua merupakan
lawyer untuk perusahaan dan keluarga kami. Entah gimana mereka bisa
mengetahui aku ada disini. Mereka membawa sebundel amplop, dan mengajak
aku berbicara. Aku bisa lihat mata tante Grace yg memerah menahan air
mata
sewaktu dia melihat tempat aku tinggal. Bahkan oom Albert suaranya
bergetar seperti lehernya tersekat menahan sedih. Mereka katakan diutus
oleh orang tua kami. Karena orang tua kami sudah tahu gimana keadaan ku
sekarang. Mereka katakan didalam amplop yg mereka pegang isinya surat2
bank, ATM, Ijasahku, yg bisa aku miliki lagi. Bahkan aku dijemput untuk
pulang ke rumah mama papa ku. Sejenak aku berbahagia, aku pikir orang
tuaku sudah terbuka hatinya, aku bisa pergunakan uang yg cukup banyak
itu
untuk hidup yg lebih baik dgn anakku. Tetapi dengan suara terpatah2 om
Albert melanjutkan, bahwa mama dan papa memberi syarat. Ketika aku tanyakan
apa syaratnya. Mereka berdua nyaris tak sanggup melanjutkan pembicaraan.
Tante Grace makin menunduk menahan tangis. Akhirnya om Albert mengatakan
kalau syaratnya aku dan anakku harus kembali ke keyakinan yg dulu aku anut.
Saat itu juga aku langsung menjawab, kalau aku tak akan mau menerima amplop
itu, dan aku katakan agar kembalikan ke orang tuaku. Mereka amat sangat
minta maaf padaku, karena mereka tahu aku tersinggung. Tapi aku juga
sadar mereka hanya menjalankan tugas. Bahkan tante Grace menambahkan, andai
mengikuti hati nurani pasti mereka udah serahkan itu amplop pada ku
tanpa syarat apapun, tapi mereka terikat profesi mereka.

Akhirnya mereka pamit meninggalkan ku. Tapi beberapa saat kemudian
mereka balik kembali menemui ku, aku pikir mereka akan membujukku. Tapi
rupanya mereka berinisiatif memfoto copy ijasah2 ku dan menyerahkan copynya ke
aku. Mereka lakukan atas inisiatif mereka sendiri, walau dengar resiko
kehilangan pekerjaan. Mereka katakan hanya itu yg bisa mereka bantu
untukku. Oh terima kasih Tuhan... Sedikit2 Tuhan memberikan jalan untuk
ku.

Akhirnya aku punya bukti kalau dulu aku pernah sekolah tinggi sampai di
luar negri.

Rupanya Tuhan sudah cukup mengujiku, dan sepertinya aku mulai diberikan
rewards atas ketabahanku selama ini. Tuhan mulai memberikan jalan yg
terang untuk ku.

Suatu pagi di halaman masjid tampak 2 orang perempuan yg sedang
mengamati bangunan masjid. Satunya seorang bule entah dari negri mana, sedangkan
satunya lagi perempuan lokal.

Kebetulan pak tua sedang di halaman, sehingga mereka menghampirinya,
masjid tsb memang unik, karena merupakan bangunan tua, dengan
arsitektur melayu kuno, sehingga kadang sering dikunjungi orang, dan biasanya pak
tua lah yg menjadi juru bicara, karena memang dia yg tahu sejarah masjid tsb.
Akupun banyak mendapat carita dari pak tua tentang masjid tsb sehingga
aku tahu banyak pula tentang sejarah masjid tsb.

Aku hanya perhatikan dari jauh, dua orang pengunjung itu ngobrol dengan
pak tua, sampai akhirnya aku lihat si bule agak kebingungan. Didorong rasa
ingin tahu, aku hampiri mereka. Dengan sopan aku perkenalkan diri, dan
menawarkan diri untuk membantu. Ternyata si bule itu adalah mahasiswi
arsitektur dari Australia yg sedang melakukan study, sedangkan
pendampingnya adalah mahasiswi arsitektur dari univ. T di kotaku yg
bertugas sebagai penterjemah, panggil saja 'Retno'. Rupanya si mahasiswi
lokal tsb kurang lancar bahasa Inggrisnya sehingga membuat si bule kadang
kebingungan mendengar terjemahan cerita dari pak tua. Dengan sopan pula
aku ajukan diri untuk membantu sibule itu. Dengan bahasa inggrisku yg
sangat lancar aku ceritakan dari awal sampai akhir semua tentang masjid
tsb. Aku ajak pula berkeliling ke tiap sudut masjid. Si bule tambah takjub
ketika aku katakan pernah study di negrinya. Retno terus memandangiku
setengah tidak percaya tentang diriku. Setelah puas mendapatkan informasi,
sebelum pulang Retno berjanji akan menemui ku kembali segera, ada yg ingin
dia tanyakan lebih banyak ttg diriku katanya. Aku dengan senang hati akan
menerima kedatangannya kapan saja.

Beberapa hari kemudian Retno memang benar2 kembali datang menemuiku,
kali ini dia sama sekali tidak membicarakan perihal arsitektur masjid. Tapi
tentang diriku. Dia amat ingin tahu tentang diriku, akhirnya aku ceritakan
dari awal sampai saat ini perjalanan hidupku ini. Dia amat bersimpati dan
berkeinginan menolong ku. Walau aku tidak mengharapkan pertolong orang
lain, tapi aku hargai niatnya membantuku. Dia bilang dengan pendidikan ku
dan kemahiranku berbahasa asing, pasti aku akan dapatkan pekerjaan,
apalagi aku sekarang sudah mempunyai bukti fotocopy ijasah ku. Kira2
seminggu kemudian dia kembali datang kepadaku, dan menyuruhku membuat
surat lamaran, bahkan dia sendiri yg membawa kertasnya dan amplopnya.
Dia katakan di rektorat univ memerlukan beberapa tenaga honorer. Aku terharu
ada orang lain yg peduli mau membatuku tanpa pamrih, aku ucapkan banyak
terimakasih padanya. Bagiku dia seperti diutus Tuhan untuk menolongku.
Tak lama kemudian aku mendapat kabar gambira, aku dipanggil menghadap ke
rektorat universitasnya untuk test dan wawancara. Sebelum berangkat aku
shalat memohon kapada Allah agar diberikan kelancaran. Anakku aku titipkan
pak tua, yg memang sudah aku anggap sebagai orang tuaku sendiri.

Alhamdulilah semua test aku lalui dengan lancar, bahkan sewaktu
wawancara
bahasa Inggris, justru akulah yg lebih menguasai ketimbang yg
mewawancaraiku. Dia sampai menyerah, dan mengatakan bhs inggrisku udah
perfect melebihi kemampuan dia.

Tak sampai seminggu kemudian, Retno mendatangiku lagi, kali ini dia tampak
gembira sekali, dia katakan dalam beberapa hari aku akan mendapat surat
dari rektorat, yg isinya penerimaan aku sebagai karyawan. Dia bisa lebih
dulu tahu karena ada temannya yg bekerja disana. Langsung aku menuju
masjid dan bersujud sukur lama sekali. Aku merasa telah lulus segala test
yg diujikan Allah terhadapku. Memang kadangkala aku sering bertanya pada
Allah, apakah karena aku mualaf sehingga Allah kurang percaya dengan
keimananku, sehingga perlu mengujinya dengan ujian yg amat berat.

Walau sebagai karyawan honorer tapi aku sudah bersukur, yg penting aku
sudah memperoleh penghasilan yg layak. Kerjaanku membantu bagian keuangan
di rektorat, memang sesuai dengan ilmuku, tetapi mulai banyak orang yg
tahu kalau aku lulusan dari luar negri. Setiap ada seminar dan memerlukan
makalah dalam bahasa Inggris pasti aku yg diberikan tugas tambahan untuk
menyusunnya. Akupun banyak membantu menterjemahkan litelatur2 asing untuk
dipergunakan para mahasiswa. Nyaris sejak 3 tahun terakhir, aku tidak
pernah membeli baju baru. Dengan gajiku sekarang aku sudah bisa membeli
lagi. Aku amat sangat senang bukan main, bisa membelikan pakaian yang
bagus2 untuk anakku. Bahagia rasanya melihat anakku bisa aku berikan
pakain yg layak. Pakaian sekolahnya yg sudah menguning, sekarang sudah aku
belikan yg baru putih bersih, dan juga sepatu baru. Sepatunya yg dulu
robek, masih aku simpan sebagai kenangan.

Beberapa bulan kemudian aku sudah mampu mengontrak rumah sendiri, sebelum
aku meninggalkan masjid tsb tak lupa aku berpamitan kerumah pak Imam, aku
ucapkan banyak terimakasih atas pertolongannya, beliau katakan yg menolong
bukan dia tetapi Allah SWT yg menolongku. Aku peluk dia lama sekali, dan
aku katakan dahulu aku mengucapkan syahadat didepan dia, dan aku tak akan
pernah mengingkarinya seumur hidupku, apapun yg terjadi. Sebelum pergi,
aku sempat memandangi kamarku untuk terakhir kali, sempat beberapa menit
aku tertegun, membayangkan, mungkin kelak ruangan ini akan dipakai oleh
orang2 yg senasib seperti aku.....Aku berharap Semoga Allah memberi
kekuatan....

Setelah aku melewati segala cobaan, Tuhan tampaknya terus menerus
memberikan semacam rewards kepadaku, belum genap setahun aku bekerja,
pihak rektorat meberikan kabar, kalau statusku akan di tingkatkan menjadi
karyawan tetap, bahkan beberapa dosen senior sudah menawariku untuk
membantu mengajar. Memang rekan2 kerjaku mengatakan, kalau karirku
bakal amat bagus, karena orang dengan kemampuan sepertiku amat dibutuhkan.
Mereka bilang, kesuksesanku hanya menunggu waktu saja. Aku hanya bisa
mengucap puji syukur Alhamdulilah. Andai dulu aku sering berdoa dengan
linangan air mata kesedihan, sekarangpun aku masih sering menangis ketika
berdoa, tapi kali ini aku menangis bahagia.

Sampai saat ini aku masih sendirian, aku bertekad membesarkan anakku
sebaik2nya, bagiku aku masih merasa istri dari mas Fariz. Masih sulit
rasanya menggantikan dia dihatiku. Seperti yg aku pernah katakan, dia
bukan hanya suami, tetapi soulmate ku, dan tak tergantikan. Tetapi entah
kalau Allah mempunyai rencana lain untukku. Tiap memandang anakku, aku
seperti melihat mas Fariz. Seperti dia masih mendampingiku.

Alhamdulilah dengan penghasilanku sekarang ini aku kini bahkan sudah mampu
membeli sepeda motor untuk keperluan transportasiku. Kadang diakhir pekan
aku berboncengan dengan anakku jalan2 rekreasi. Kadangkala aku sengaja
lewat depan rumah orang tuaku, sambil aku katakan bahwa itulah rumah opa
dan oma. Sering anakku bertanya, "Ma kapan kita pergi main kerumah
oma-opa? " Aku tak bisa menjawab, karena menahan air mata...

Walaupun begitu aku terus berdoa, semoga suatu saat kelak, kedua
orangtuaku dibukakan pintu hatinya, kalaupun tidak mau menerima aku
lagi, mohon terima anakku, cucunya, darah daging mereka sendiri.

Wassalam,
Mawar.

Di ceritakan kembali oleh Retno (2508) Di Kota P

Sekedar Renungan bagi para orang tua

Jika masih tertahan kelopak mata ini untuk tetap terbuka hingga larut, atau
saat terjaga di pertengahan malam selalu saya sempatkan untuk menyambangi
kamar anak-anak. Saya hampiri dan tatap wajah mereka bergantian sambil
menghalau nyamuk yang hinggap di tubuh mereka. Wajah indah yang terlelap
itu menyibakkan kejujuran dalam hati, bahwa mereka hadir sebagai amanah yang harus dijaga sebaik-baiknya.

Mereka ada untuk dicinta.
Terbayanglah kekesalan yang hampir tercipta akibat perbuatan dan tingkah
nakal mau pun pembangkangan mereka siang tadi. Terlintaslah amarah yang
nyaris meluap saat mereka tak mendengar perintah mau pun ketika peraturan
terlanggar. Beruntung kekesalan itu hanya sempat mampir di kepala dan tak
sampai keluar makian kasar yang pasti akan melukai telinga mereka.
Bersyukur amarah ini tak sekali pun sempat membuat mereka melihat saya
seperti monster yang menakutkan.

Mereka hanya anak-anak yang sangat pantas dan bisa sangat dimaafkan ketika
berbuat kesalahan. Jiwa mereka masih sangat rapuh untuk menerima kalimat dan perilaku kasar orang tua hanya karena kesalahan kecil yang mereka pun
mungkin tak sadar kalau itu benar-benar sebuah kesalahan.

Bisa jadi letak kesalahan justru terletak pada orang tua yang terlalu kaku
membuat peraturan, mengekang kebebasan mereka sebagai individu yang meski
masih kecil tetap saja seorang manusia yang berhak dan bebas memilih untuk
melakukan yang terbaik menurut mereka.

Tugas orang tua bukan melarang atau memerintah, tapi lebih kepada
mengarahkan agar mereka tetap berada pada jalur yang sebenarnya.

Menatap kembali wajah-wajah bersih itu dalam tidur mereka yang mungkin
sedang memimpikan Ayah dan Ibu yang tengah menimang dan membuai penuh kasih, tergambar jelas tak sedikit pun ada dosa di diri mereka. Kalau mau
menghitung-hitung, jangan-jangan justru kita lah yang lebih banyak berbuat
kesalahan terhadap mereka dibanding jumlah kesalahan kecil mereka.

Saya teringat banyak kejadian di luar. Misalnya ketika di sebuah angkot
seorang ibu memaki anaknya yang masih berusia empat tahun -dari posturnya
seukuran anak saya- dengan kalimat yang sangat belum waktunya anak sekecil
itu mendapatkannya. Belum lagi tempelengan yang sempat mampir di kepalanya.
"goblok lu ya, kalau jatuh mampus luh," hanya karena ia sempat melongok ke
arah pintu angkot. Sebuah kesalahan kecil yang mestinya bisa disikapi lebih
bijak dengan sebuah nasihat lembut. Atau ketika isteri saya bercerita
tentang seorang ibu dari teman sekolah anak kami di TK. Anaknya terjatuh
saat berlari, "Nyungsep sekalian biar bonyok tuh muka. Udah dibilangin
jangan lari," itu pun masih ditambah satu tamparan di kepala. Yang pasti itu
tak meredakan tangis si anak, bahkan membuat memar di lututnya semakin perih terasa hingga ke hati.

Mengusap bulir keringat di kening mereka dan membelai rambutnya saat tidur
membuahkan pertanyaan di benak ini, haruskah bintang-bintang sejernih ini
mendapatkan perlakuan sekasar itu?

Lihat saja senyum mereka saat terlelap, dan dengarkan hati mereka bernyanyi
dalam mimpi. Anda akan mendengarkan nyanyian riangnya jika Anda
memperlakukannya sepanjang hari seperti halnya Anda tengah menciptakan
sebuah mimpi indah untuknya.

Namun jangan terperanjat ketika tengah malam tidur Anda terusik saat ia
mengigau dan berteriak ketakutan.
Hanya rintihan yang bisa terdengar dari mimpinya karena sepanjang hari ia
hanya mendapatkan kecemasan dan ketakutan dari kalimat kasar, delikkan mata
dan ayunan keras tangan Anda ke tubuh mereka.

Tak seekor nyamuk pun pernah saya persilahkan untuk menyentuh setiap inci
kulit mereka. Lalu kenapa masih ada yang tega mencederai anak-anak, padahal
dalam berbagai dongeng mereka selalu mendengar bahwa yang kasih dan cintanya tak terbanding itulah Ayah dan Ibu.

Coba sentuh dengan lembut wajah halusnya saat tidur, itu akan membuatnya
bermimpi indah seolah tengah terbaring di pangkuan bidadari.

Anak-anak tak pernah membenci orang tuanya, bahkan saat mereka mendapatkan perlakukan kasar dari orang tua pun, tetap saja nama Ayah atau Ibu yang mereka panggil saat menangis. Anak-anak tak pernah berdosa terhadap orang tuanya, justru kebanyakan orang tua yang berdosa kepada mereka dengan makian kasar dan pukulan menyakitkan. Anak-anak tak pernah benar-benar membuat orang tua kesal, orang tua lah yang teramat sering membuat mereka kecewa mendapati Ayah dan Ibunya tak seindah syair lagu yang selalu diajarkan guru di sekolah.

Ah, kadang orang tua baru menyadari bahwa anak-anak hadir untuk dicinta saat
ia terbaring lemah di salah satu tempat tidur di bangsal anak-anak. Atau
ketika Tuhan mencabut amanah itu dari kita. Menangiskah kita?
salam,


ShoutMix chat widget